Pernah engga sih baca twit dari seorang emak nyinyir 'mengadu' soal tetangga, saudara, keponakan, atau anak-orang-engga-kenal-sekedar-liat aja ke admin satu account yang berhubungan dengan parenting?
Misalnya nih, bolak-balik saya membaca twit model begini:
"Ih min, masak anak tetanggaku 7yo masih aja minum susu. Jadi deh tu bocah sakit-sakitan melulu, masa bulan ini aja udah ngamar 2x"
"Kemarin ngeliat ponakan kena diaper rash parah min! Ga tega liatnya, ibunya sih ngasih dispo melulu"
"Masa min, anak temenku dari lahir engga disusuin, malah langsung dikasih sufor. Ih tega bgt sih."
Dsb dsb dsb. Pernah?
Hayooo ngakuuuu, pasti pernah juga deh kayak gitu. Kalau engga ngetwit, seengganya mbatin deh:p
Saya ngakuuuu! Saya-dulu-juga gitu kok:p sampai saya mengalami sendiri berinteraksi dengan pasien-pasien dan keluarganya.
Misalnya saja, beberapa saat yang lalu saya kedatangan seorang pasien, bayi cantik yang sebut saja namanya Ria.
Ria, berusia 4 bulan dan dikonsulkan ke saya karena diare kronis. Diarenya sudah berlangsung lebih dari 2 minggu, dan sudah bergonta-ganti susu. Segala macam susu formula sudah pernah dicoba mulai dari yang murah sampai mahal sekalipun.
Sang ibu berpakaian rapi, memakai dress pink yang dipadu hijab two-tone abu dan ungu. Aroma tubuhnya wangi parfum white musk. Saya intip tas tangan yang dibawanya. Saya kenal betul brand tas tadi. Memang bukan yang very high class, tapi saya tahu bahkan yang KW saja harganya ratusan ribu. Saya yakin ibu yang saya hadapi ini bukan berasal dari kalangan bawah.
Karena Ria masih dalam masa ASIX, tentu saja, pertanyaan pertama saya pada ibu Ria adalah 'Kenapa engga ASI bu?'
Awalnya sang ibu hanya tersenyum malu saja, tidak menjawab. Tetapi setelah saya pancing-pancing, keluarlah jawaban panjang lebar darinya.
"Suami saya meninggal saat Ria masih berusia seminggu. Saya sudah tidak punya orangtua dan punya seorang adik. Untuk menghidupi Ria dan adik, saya harus bekerja dok. Engga ada pilihan."
Saya jawab,
"Bekerja juga masih bisa menyusui lho bu. Kan bisa diperah dan disimpan. Engga usah pakai breastpump mahal-mahal, pakai tangan juga bisa."
Sementara saya sempat ngebatin "Duh, beli tas ratusan ribu bisa masa beli breastpump ga bisa."
"ASI saya engga keluar dok"
Saya masih belum mau menyerah, saya bilang "Ya engga keluar karena engga disusuin terus bu. Gini aja bu, kalau ibu mau bisa saya ikutkan program relaktasi. Gimana?"
Sang ibu hanya tersenyum tidak mengiyakan.
"Coba hitung berapa biaya yang ibu keluarkan buat sufor. Kalau ASI kan gratisan bu. Lebih sehat lagi."
"Nanti kita lihat siapa tahu diarenya Ria ini bisa berhenti kalau ASI." Saya engga mau menyerah merayu si ibu.
Akhirnya mungkin karena capek saya bujuk terus, dia berbisik pada saya "Dok, suami saya meninggal karena AIDS."
Jreeeeeeeeeng.
Saya langsung terdiam dan merasa bersalah sudah berpikir si ibu ini engga mau repot, tega membiarkan anaknya diare terus, tidak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya.
"Kenapa engga bilang dari awal bu?"
Lagi-lagi sang ibu hanya tersenyum. Saya sih mahfum ya, emangnya gampang untuk mengakui kalau diri kita sakit berat? Apalagi kalau sakitnya AIDS yang sampai saat ini masih jadi momok bagi orang banyak.
Kasus lain, sebut saja Ari, berusia 7 tahun dikonsulkan ke saya karena speech delay. Nenek dan ibunya bilang kalau sampai saat ini, Ari belum bisa mengucapkan satu kata pun dengan jelas.
Saat saya mendengar hal ini, tentu saja reaksi saya adalah terheran-heran. Masa baru dibawa ke dokter setelah 7 tahun? Seharusnya sudah disadari sejak umur 2-3 tahun dong ya?
"Kenapa baru dibawa sekarang bu? Ibu sadar sejak kapan Ari engga bisa ngomong?"
"Sejak dia umur 3 tahun sudah sadar kok dok"
"Lah terus kok baru dibawa sekarang bu?"
Ibu dan nenek Ari hanya tersenyum.
Saya pancing-pancing sedemikian rupa pun ibu dan neneknya tetap diam dan hanya tersenyum.
Baiklah, walaupun masih penasaran, saya harus menyerah juga demi melihat antrian pasien yang menumpuk. Saya jelaskan beberapa tes yang harus dijalani. Kebetulan ibu dan neneknya ini belum punya Jamkesmas dan berencana untuk mengurusnya. Jadilah saya rencanakan tes pendengaran dan beberapa tes lain setelah Jamkesmas ada.
Kemudian, saya menyudahi sessi konsultasi bersama Ari dan sibuk berkutat dengan pasien lain.
Setelah semua pasien selesai, saya bersiap-siap turun dari poli. Begitu membuka pintu untuk keluar, saya terkejut karena mendapati ibu dan nenek Ari masih ada di kursi tunggu.
"Lho bu, ada apa? Masih ada yang ingin ditanyakan?"
Sang ibu dan nenek terlihat habis menangis. Saya jadi tambah bingung. Ada apa sih?
Saya mengambil tempat duduk persis di sebelah nenek yang langsung berbicara dengan saya sambil menangis.
"Maaf ya dok, ngapunten sanget. Tadi saya ke loket untuk bayar biaya administrasi. Saya kaget karena mahal sekali. Saya engga punya uang segitu banyak dok. Sejak tahu cucu saya telat bicara, saya sudah nabung untuk biaya ke dokter. Cuma selalu terpakai karena adaaaaa saja dok. Yang Ari sakit batuk pilek, uangnya terpakai beli obat. Yang harus bayar hutang, beli beras, dll. Hari ini, tabungan saya baru terkumpul dok. Saya hitung-hitung, biaya angkot pulang pergi untuk kami bertiga Rp. 21.000, harus ganti angkot 2x, kurang lebih habis Rp.50.000 sudah dengan ojek. Saya pikir biaya disini sekitar Rp. 25.000. Saya cuma punya uang Rp. 75.000 dok."
Nyeeees. Saya langsung trenyuh dan mengatakan ke loket kalau semua biaya Ari (ps: biayanya 'cuma' Rp. 53.000) akan saya tanggung.
Batin saya, "Maaf ya bu, saya sudah berburuk sangka, mikir ibu engga care sama cucunya, tega sekali dibiarkan engga ngomong sampai 7 tahun. Maaf ya buu" :')
Sang ibu dan nenek tak henti berterimakasih sambil menangis sampai saya pun sibuk menahan tangis.
Ini cuma 2 dari sekian banyak kasus yang pernah saya alami. Menurut saya, ada hikmah yang bisa diambil. Sebelum menjudge macam-macam dan berkomentarseolah diri sendiri adalah ibu yang paling sempurna , try to be in their shoes first.
Kalaaau nih kalau, kita sendiri yang ada di posisi mereka, gimana? Salah gitu melakukan apa yang mereka lakukan? Terus kira-kira nih, kalau ada tetangga atau orang lain sibuk 'mengadukan' kita ke account twit tertentu tanpa tahudan engga mau tahu alasan kita melakukan itu, gimana sih perasaan kita?:)
Pernah engga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-orang-yang-engga-pernah-dikasih-ASI itu ibunya HIV positif dan emang engga boleh nyusuin? Terus ibunya musti koar-koar gitu kalau dia terinfeksi HIV? Pernah engga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-tetangga-yang-sakit-melulu itu belum tentu karena minum susu terus? dsb dsb. Berkhusnudzon yuk!
Akhirnya, belajar dari pasien-pasien kecil saya, saya berusaha untuk tidak menjudge orangtua, apapun alasannya. Saya percaya, tidak ada orangtua waras di dunia ini yang berkeinginan untuk mencelakakan atau membuat anaknya sakit. Saya yakin, semua orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, dengan cara apapun,semampunya.
Yang bisa saya lakukan adalah mengedukasi orangtua, berusaha membantu sebaik-baiknya agar orangtua bisa memberikan semaksimal mungkin untuk anak mereka. Semua orang punya masalah masing-masing, punya alasan masing-masing untuk mengasuh dan merawat anaknya.
Anyway, menjudge cara pengasuhan seseorang tidak menjadikan kita sendiri pasti lebih baik darinya bukan?:)Misalnya nih, bolak-balik saya membaca twit model begini:
"Ih min, masak anak tetanggaku 7yo masih aja minum susu. Jadi deh tu bocah sakit-sakitan melulu, masa bulan ini aja udah ngamar 2x"
"Kemarin ngeliat ponakan kena diaper rash parah min! Ga tega liatnya, ibunya sih ngasih dispo melulu"
"Masa min, anak temenku dari lahir engga disusuin, malah langsung dikasih sufor. Ih tega bgt sih."
Dsb dsb dsb. Pernah?
Hayooo ngakuuuu, pasti pernah juga deh kayak gitu. Kalau engga ngetwit, seengganya mbatin deh:p
Saya ngakuuuu! Saya-dulu-juga gitu kok:p sampai saya mengalami sendiri berinteraksi dengan pasien-pasien dan keluarganya.
Misalnya saja, beberapa saat yang lalu saya kedatangan seorang pasien, bayi cantik yang sebut saja namanya Ria.
Ria, berusia 4 bulan dan dikonsulkan ke saya karena diare kronis. Diarenya sudah berlangsung lebih dari 2 minggu, dan sudah bergonta-ganti susu. Segala macam susu formula sudah pernah dicoba mulai dari yang murah sampai mahal sekalipun.
Sang ibu berpakaian rapi, memakai dress pink yang dipadu hijab two-tone abu dan ungu. Aroma tubuhnya wangi parfum white musk. Saya intip tas tangan yang dibawanya. Saya kenal betul brand tas tadi. Memang bukan yang very high class, tapi saya tahu bahkan yang KW saja harganya ratusan ribu. Saya yakin ibu yang saya hadapi ini bukan berasal dari kalangan bawah.
Karena Ria masih dalam masa ASIX, tentu saja, pertanyaan pertama saya pada ibu Ria adalah 'Kenapa engga ASI bu?'
Awalnya sang ibu hanya tersenyum malu saja, tidak menjawab. Tetapi setelah saya pancing-pancing, keluarlah jawaban panjang lebar darinya.
"Suami saya meninggal saat Ria masih berusia seminggu. Saya sudah tidak punya orangtua dan punya seorang adik. Untuk menghidupi Ria dan adik, saya harus bekerja dok. Engga ada pilihan."
Saya jawab,
"Bekerja juga masih bisa menyusui lho bu. Kan bisa diperah dan disimpan. Engga usah pakai breastpump mahal-mahal, pakai tangan juga bisa."
Sementara saya sempat ngebatin "Duh, beli tas ratusan ribu bisa masa beli breastpump ga bisa."
"ASI saya engga keluar dok"
Saya masih belum mau menyerah, saya bilang "Ya engga keluar karena engga disusuin terus bu. Gini aja bu, kalau ibu mau bisa saya ikutkan program relaktasi. Gimana?"
Sang ibu hanya tersenyum tidak mengiyakan.
"Coba hitung berapa biaya yang ibu keluarkan buat sufor. Kalau ASI kan gratisan bu. Lebih sehat lagi."
"Nanti kita lihat siapa tahu diarenya Ria ini bisa berhenti kalau ASI." Saya engga mau menyerah merayu si ibu.
Akhirnya mungkin karena capek saya bujuk terus, dia berbisik pada saya "Dok, suami saya meninggal karena AIDS."
Jreeeeeeeeeng.
Saya langsung terdiam dan merasa bersalah sudah berpikir si ibu ini engga mau repot, tega membiarkan anaknya diare terus, tidak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya.
"Kenapa engga bilang dari awal bu?"
Lagi-lagi sang ibu hanya tersenyum. Saya sih mahfum ya, emangnya gampang untuk mengakui kalau diri kita sakit berat? Apalagi kalau sakitnya AIDS yang sampai saat ini masih jadi momok bagi orang banyak.
Kasus lain, sebut saja Ari, berusia 7 tahun dikonsulkan ke saya karena speech delay. Nenek dan ibunya bilang kalau sampai saat ini, Ari belum bisa mengucapkan satu kata pun dengan jelas.
Saat saya mendengar hal ini, tentu saja reaksi saya adalah terheran-heran. Masa baru dibawa ke dokter setelah 7 tahun? Seharusnya sudah disadari sejak umur 2-3 tahun dong ya?
"Kenapa baru dibawa sekarang bu? Ibu sadar sejak kapan Ari engga bisa ngomong?"
"Sejak dia umur 3 tahun sudah sadar kok dok"
"Lah terus kok baru dibawa sekarang bu?"
Ibu dan nenek Ari hanya tersenyum.
Saya pancing-pancing sedemikian rupa pun ibu dan neneknya tetap diam dan hanya tersenyum.
Baiklah, walaupun masih penasaran, saya harus menyerah juga demi melihat antrian pasien yang menumpuk. Saya jelaskan beberapa tes yang harus dijalani. Kebetulan ibu dan neneknya ini belum punya Jamkesmas dan berencana untuk mengurusnya. Jadilah saya rencanakan tes pendengaran dan beberapa tes lain setelah Jamkesmas ada.
Kemudian, saya menyudahi sessi konsultasi bersama Ari dan sibuk berkutat dengan pasien lain.
Setelah semua pasien selesai, saya bersiap-siap turun dari poli. Begitu membuka pintu untuk keluar, saya terkejut karena mendapati ibu dan nenek Ari masih ada di kursi tunggu.
"Lho bu, ada apa? Masih ada yang ingin ditanyakan?"
Sang ibu dan nenek terlihat habis menangis. Saya jadi tambah bingung. Ada apa sih?
Saya mengambil tempat duduk persis di sebelah nenek yang langsung berbicara dengan saya sambil menangis.
"Maaf ya dok, ngapunten sanget. Tadi saya ke loket untuk bayar biaya administrasi. Saya kaget karena mahal sekali. Saya engga punya uang segitu banyak dok. Sejak tahu cucu saya telat bicara, saya sudah nabung untuk biaya ke dokter. Cuma selalu terpakai karena adaaaaa saja dok. Yang Ari sakit batuk pilek, uangnya terpakai beli obat. Yang harus bayar hutang, beli beras, dll. Hari ini, tabungan saya baru terkumpul dok. Saya hitung-hitung, biaya angkot pulang pergi untuk kami bertiga Rp. 21.000, harus ganti angkot 2x, kurang lebih habis Rp.50.000 sudah dengan ojek. Saya pikir biaya disini sekitar Rp. 25.000. Saya cuma punya uang Rp. 75.000 dok."
Nyeeees. Saya langsung trenyuh dan mengatakan ke loket kalau semua biaya Ari (ps: biayanya 'cuma' Rp. 53.000) akan saya tanggung.
Batin saya, "Maaf ya bu, saya sudah berburuk sangka, mikir ibu engga care sama cucunya, tega sekali dibiarkan engga ngomong sampai 7 tahun. Maaf ya buu" :')
Sang ibu dan nenek tak henti berterimakasih sambil menangis sampai saya pun sibuk menahan tangis.
Ini cuma 2 dari sekian banyak kasus yang pernah saya alami. Menurut saya, ada hikmah yang bisa diambil. Sebelum menjudge macam-macam dan berkomentar
Kalaaau nih kalau, kita sendiri yang ada di posisi mereka, gimana? Salah gitu melakukan apa yang mereka lakukan? Terus kira-kira nih, kalau ada tetangga atau orang lain sibuk 'mengadukan' kita ke account twit tertentu tanpa tahu
Pernah engga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-orang-yang-engga-pernah-dikasih-ASI itu ibunya HIV positif dan emang engga boleh nyusuin? Terus ibunya musti koar-koar gitu kalau dia terinfeksi HIV? Pernah engga kepikiran kalau mungkin aja ternyata anak-tetangga-yang-sakit-melulu itu belum tentu karena minum susu terus? dsb dsb. Berkhusnudzon yuk!
Akhirnya, belajar dari pasien-pasien kecil saya, saya berusaha untuk tidak menjudge orangtua, apapun alasannya. Saya percaya, tidak ada orangtua waras di dunia ini yang berkeinginan untuk mencelakakan atau membuat anaknya sakit. Saya yakin, semua orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, dengan cara apapun,semampunya.
Yang bisa saya lakukan adalah mengedukasi orangtua, berusaha membantu sebaik-baiknya agar orangtua bisa memberikan semaksimal mungkin untuk anak mereka. Semua orang punya masalah masing-masing, punya alasan masing-masing untuk mengasuh dan merawat anaknya.
(Sumber : http://www.metahanindita.com/2012/10/belajar-khusnudzon.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkunjung dan membaca tulisan2 di blog ini.
Selanjutnya, silahkan tinggalkan jejak kamu diblog ini
dengan menuliskan komentar kamu di "kotak komentar" yang sudah tersedia.